Tuesday, December 8, 2009

Teologi Inklusif atau Pluralisme

A. Pendahuluan

Berbicara mengenai Inklusifisme/ Pluralisme atau kebebasan adalah berbicara soal Demokrasi atau kebebasan setiap orang untuk bebas melakukan sesuatu yang diyakini sebagaimana konsep semboyan negeri ini BHINEKA TUNGGAL IKA yang berarti “Berbeda beda tetap satu jua” . Dalam prespektif lingkup agama adalah kebebasan manusia untuk memilih dan meyakini kepercayaan yang mereka yakini. Bagaimana Pluralisme di Negeri ini? Itulah hal yang dewasa ini menjadi topik hangat bagi media massa nusantara, seperti kasus Ahmadiyah yang menimbulkan pro dan kontra atas eksistensi jemaat Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh kelompok Islam tertentu dan akhirnya Jemaat Ahmadiyah harus diakhiri. Bukan hanya itu kasus penutupan tempat Ibadah yang melibatkan ketegangan antar umat Islam dan Nasranipun sering terjadi. Salah satunya kasus pada 28 April 1969 di Slipi, Jakarta. Beberapa kelompok Muslim menyerang dan membakar bangunan GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat).
Mengomentari kasus itu, seorang tokoh Islam, Muhammad Natsir mengatakan bahwa kasus itu bisa dipahami karena program Kristenisasi yang secara langsung mengancam komunitas Muslim dengan mendirikan gereja di wilayah yang dihuni mayoritas Muslim. Dia menjelaskan, di Slipi itu sudah ada lima gereja untuk 350 orang Kristen dimana 35.650 Muslim hidup di sama. Mengapa masih mendirikan gereja lagi, apalagi tanpa ada ijin dari pemerintah Jakarta. Hal ini dianggap menyakitkan perasaan umat Islam sehingga umat Islam melakukan penyerangan. Hal itu, kata Natsir, tidak akan terjadi kalau jika pihak Kristen tidak melanggar hukum pemerintah. Sebaliknya, pihak Kristen menganggap bahwa serangan itu sudah direncanakan dalam pertemuan 100 orang sehari sebelumnya. Selain mengkritisi respon aparat yang dianggap lambat, pihak Kristen menuntut tanggung jawab hukum dan keadilan. Pemerintah akhirnya memberi respon dengan dengan menangkap dua aktifis Ansor sebagai tersangka, dan beberapa buan kemudian pemerintah memecat dua orang tentara, satu Muslim dan satu Kristen, karena keterlibatannya dalam kasus Slipi tersebut itua adalah sebagian kecil kasus mengenai kurangnya pluralisme antar umat beragama di Negeri ini. Dan jika hal ini terus berlangsung maka akan mengancan NKRI dan menimbulkan disintegrasi bangsa, karena Orang Nasrani akan merasa menjadi warga minoritas yang haknya selalu di langgar oleh warga muslim yang mayoritas. Menilik dari dua kasus diatas akan timbul pertanyaan bagaimana sebetulnya islam menempatkan diri dalam Pluralisme Agama? Hal inilah yang akan coba penyusun paparkan dalam makalah ini.
B. Pembahasan
1.) Inklusifisme, sebuah prolog
a. Sejarah Teologi Inklusif
Pada 1960-an bangkit suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa cemas terhadap janji-janji gerakan modern yang dianggap hanya teori. Gerakan ini menamakan dirinya posmodernisme. Gerakan ini secara konkret menunjukkan kepanikannya terhadap gerakan modern dengan suatu aksi nyata di ST. Louis, AS pada 1972.
Gerakan Posmodernisme tidak hanya terbatas di bidang seni dan estetika, tetapi juga mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Gerakan ini lahir di Eropa dan menjalar di Amerika bagaikan luapan Api yang tidak terbendung. Pada prinsipnya posmodernisme menggugat gerakan modern yang dinilai telah gagal mencapai sasarannya, bahkan telah menimbulkan frustasi dan kebingungan di atas muka bumi. Gerakan ini, baik yang beraliran ekstrim maupun moderat merupakan salah satu tantangan intelektual terbesar bagi temuan dan pengetahuan yang telah mapan di abad ke-20 ini.
Posmodernisme menyanggah superioritas masa kini atas masa lampau (modern atas pra-modern). Karena itulah gerakan ini menghidupkan kembali relevansi nilai-nilai tradisional suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh modernitas dan nilai tidak berguna. Semangat baru kembali ditiupkan kepada nilai-nilai tradisional keagamaan. Mitos keunggulan rasioanalitas digoyahkan untuk kembali ke alam yang lebih otentik dan suci.
Di Indonesia paham Neo modernitas dalam Islam atau Posmodernisme timbul seiring masa masa pembangunan orde baru dan Era Reformasi yang berusaha menutupi pola pemikiran sebelumnya (tradisionalisme Islam, Modernisme Islam dan Fundamentalisme Islam).
Ketiga pola pemikiran Islam tersebut yaitu : Tradisionalisme (gerakan pemikiran Islam yang masih terikat dan terkait kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqih, hadits, tasawuf dan tauhid, yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13), Modernisme (gerakan pembaharuan atas kemapanan aliran tradisionalisme Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat, meskipun secara institusional (kaum tradisional) lebih belakang. Modernisme mendapat inspirasi dari gerakan purifikasi Muhammad Ibn Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan PAN-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian mendapat kerangka ideologis dan teologis dari muridnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ), dan Fundamentalisme (gerakan pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab lagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis merupakan alternatif yang mereka tonjolkan).
Pola pemikiran tersebut masing-masing memiliki sisi kekurangan. Tradisionalisme, karena terlalu kauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat selektif th gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai keberanian meendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris mandul. Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, juga penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual akibat cara berpikir yang jump to conclusion. Sementara itu, fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya. Kelebihan dari pola pikir Pasmodernisme adalah agenda pembaharuannya bukan hanya membahas mengenai intern neo modernisme tetapi terlebih kepada agenda-agenda kebangsaan termasuk problem aktual yang dihadapinya. Salah satu karakter mendasar kelompok ini adalah penolakkan terhadap formalisme dan pemanfaatan agama untuk tujuan politik, karena kaum posmodernisme ingin mengembalikan agama sebagai kekuatan etik dan moral bagi kesejahteraan masyarakat luas.
Apakah hubungan Posmodernisme dengan Teologi Inklusif?
Diantara pemikiran kaum neo modernisme yang kini dianggap berani dan radikal dan melawan arus pada masa itu adalah selain gagasan pluralisme, kebangsaan juga gagasan dibidang teologi adalah Teologi Inklusif , yang secara umum kerangka perumusan teologinya adalah pemahaman untuk memahami pesan Tuhan, dimana semua kitab suci (injil, Zabur, Taurat dan Al-Qur‟an) itu pesan Tuhan.
Sedangkan postmodernisme sendiri dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola neo-modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting yaitu modernisme dan tradisionalisme,dimana sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai sisi-sisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi.
Dalam studi keislaman, istilah neo-modernisme diintroduksir oleh seorang tokoh gerakan pembaharu Islam asal Pakistan Fazlur Rahman (1919-1988). Adapun gejala neo-modernisme Islam di Indonesia menurut Greg Barton, mulai terlihat pada tahun 1970-an yang dimotori oleh generasi muda terpelajar. Umumnya mereka yang berpendidikan modern, namun yang pasti mereka adalah generasi yang sudah matang pemikirannya dan dibesarkan oleh berbagai pengalaman. Mereka terdiri dari kaum cerdik yang memiliki pemikiran brilian dan selalu memicu kontroversi, karena tema-tema yang mereka aktualisasikan cukup mendasar, filosofis, dan bernuansa sosial, maka banyak mendapat respon positif.
b. Pengertian Teologi Inklusif
Berbicara mengenai Teologi Inklusif pasti tidak akan lepas dari Eksklusivisme. Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk didalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”. Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi. Sedangkan Inklusivisme adalah Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.
Dalam Islam teologi inklusif biasanya disebut juga pluralisme (dalam makalah ini selanjutnya teologi inklusif penulis sebut sebagai pluralisme) mendorong pemeluknya bersikap terbuka terhadap kelompok dari agama lain (non Muslim). Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antarsesama warga masyarakat. inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan kerjasama.
2.) Tokoh-tokoh Teologi Inklusivisme (Pluralisme Agama)
a. Nurcholis Madjid
Pluralisme menurut dia merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil, dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis dia tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik, serta masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
b. John Harwood Hick
Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan pernyataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding kebenaran agama lain. Oleh karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya. Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencari-nya. Oleh karena itu, Hick menyatakan bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan dari The Real In It Self (Tuhan).
c. Abdul Aziz Sachedina
Bagi Abdul aziz Sachedina, pluralisme adalah “pondasi kehidupan bagi agama-agama” (ashl al-hayât bayna al-adyân). Kita bisa melayak ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung pluralisme ini sebagai satu rahasia dari lautan rahasia Allah. Salah satunya, Jika Tuhanmu menghendaki maka kalian akan dijadikan umat satu. Ternyata Allah tidak berkehendak untuk menyatukan umat manusia. Nah, keragaman agama di sini yang disinyalir ayat tadi merupakan rahasia dan kehendak Allah. Dan pluralisme sebagai dasar kehidupan semua agama mengajak kita membuka dan memahami rahasia Allah itu. Keragaman agama sebagai rahasia Allah meliputi juga agama-agama lain yang biasa disebut “agama-agama Ibrahimi”.
Dalam konteks agama Yahudi dan Kristen, al-Qur’an menyebut mereka sebagai Ahli Kitab, yaitu pemeluk agama yang memiliki kitab wahyu. Meskipun Alqur’an juga mengakui mereka “memalsukan kitab sucinya”, namun Alqur’an tetap menyebut mereka sebagai Ahli Kitab; yang wajib diterima keberadaannya dan dihormati. Di ayat lain dalam surat Yunus: 99, Dan jika Tuhanmu menghendaki, pastilah semua manusia di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu (wahai Muhammad) ingin memaksakan manusia untuk beriman? Adalah tidak masuk nalar al-Qur’an jika membenci dan memaksa seseorang untuk beriman.
Secara khusus ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Saw, karena beliau tidak dibebani oleh Allah untuk bertanggung jawab agar seluruh manusia masuk Islam. Dalam ayat lain juga disebutkan; lâ ikrâh fi al-dîn (tiada paksaan daman beragama). Prinsip-prinsip tadi menunjukkan bahwa Allah tidak menginginkan pemaksaan dalam beragama. Pandangan dan sikap yang menginginkan semua umat manusia beriman atau berislam bertentangan dengan kemauan Allah yang menginginkan keragaman agama.
Maka dari itu kita harus membedakan antara “kebenaran agama” (al-haqîqah al-dîniyah) dengan “fanatisme agama” (al-ta’ashshub al-dînî). Saya menerima yang pertama, tapi saya menolak yang kedua. Seorang pemeluk agama sah-sah saja meyakini kebenaran agamanya. Namun ketika keyakinan itu bergumpal dengan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain, itulah fanatisme agama. Pluralisme agama membenci kebencian dan memusuhi permusuhan atas dasar perbedaan agama. Tapi fanatisme agama malah menganjurkannya. Dua hal yang berbeda bukan? Alqur’an mengakui pluralisme sebagai dasar relasi sosial umat manusia bersama nilai-nilai lain seperti keadilan dan kesetaraan. Nilai-nilai tidak hanya menjadi hak dasar umat muslim saja, namun juga seluruh umat agama lain.
3.) Halal dan Haram Inklusifisme Islam (Teologi Inklusif)
a.) Halalnya Inklusivisme (Pluralisme) Islam
Paradigma ini menegaskan kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut.
Selain itu para kaum pro pluaralis juga mengganggap setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipiil. Pandangan plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar.
Selain itu Alquran sendiri pun (al-Baqarah:148) mengakui adanya kepelbagaian jenis komponen dalam masyarakat yang memiliki tujuan hidup berbeda. Setiap kita, harus menerima keragaman itu sebagai sebuah realitas. Kita dituntut untuk memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan aktivitas ritualnya. Yang dibutuhkan pada masyarakat majemuk adalah agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam jalan sehat dan benar.
Mengkomparasikan pemahaman tersebut dengan makna substansial surat al-Hujurat ayat 13, maka jelaslah bahwa umat Islam harus menerima kenyataan kemajemukan. Tuhan menciptakan manusia dari dua jenis kelamin pria dan wanita, menjadikan mereka beraneka bangsa dan suku dengan satu muara; untuk saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Dan kemuliaan setiap insan di sisi Tuhan cukup ditentukan seberapa intens mereka menjalin kontak transendental, iman, dengannya. Secara etik-moral, kedua ayat itu ingin menegaskan agar keanekaragaman itu bisa mendatangkan rahmat bukan laknat.
Dengan bermodalkan kedua ayat tersebut, di samping ayat yang lain, maka tendensi bahwa Islam antipluralisme adalah salah dari segi ideologis. Penempatan posisi frontal diametral antara Islam dan modernisme tidaklah tepat. Memang, pluralisme dalam masyarakat modern terinspirasi dari ide pencerahan abad pertengahan Eropa. Tetapi, pluralisme sebagai ideologi, bahkan etika, dalam Islam sama sekali tidak bertentangan dengan modernisme.
Para pro Inklusif juga berpendapat meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik, semuanya akan bermuara kepada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, semua agama monoteitis, baik Yahudi, Kristen, Islam, yang bersumber pada Abraha-mic Religions, pada hakikatnya didasarkan pada bas Keesaan Allah atau tauhid dalam istilah Islam.
b.) Haramnya Inklusivisme (Pluralisme) Islam
Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial.
Sebenarnya paham pluralisme ini bukan paham baru baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Dewasa ini pluralisme selalu dikaitkan dengan Toleransi, kaum plural mengganggap bahwa toleransi adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pluralisme. Mereka mengganggap jika orang Islam tidak mengakui Pluralisme artinya mereka juga tidak menghendaki Toleransi.
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama, artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang faham pluralisme dalam agama Islam. Namun demikian, faham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Landasan pemikiran bahwa hakekat kebenaran muncul dalam semua agama sangat bertolak belakang dengan konse-konsep pokok ajaran Islam. Ajaran Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa ada beberapa kebenarannya yang pasti (tidak relatif), dan itulah yang dinamakan akidah. Islam juga mengajarkan bahwa satu-satunya ajaran yang benar adalah ajaran Islam. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan Islam adalah syariat paling sempurna (Al-Azhab:40, Al-Maidah: 3), setelah datangnya syariat Islam, agama-agama lain tidak ada artinya (Ali Imran :85), dan dan janji Allah berkenaan dengan superioritas Islam atas agama atau aliran lain (At-Taubah : 33).
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa liya dien). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
C. Penutup/ Simpulan
Inklusivisme memang sebuah permasalahan agama dan juga politik yang dewasa ini menjadi superstar bagi media massa. Islam dan Pluralisme adalah sebuah fenomena pro dan kontra yang menghiasi pemikiran orang Islam negeri ini. Intinya Dua pendapat tersebut memiliki landasan sendiri-sendiri yang mereka anggap benar dan sesuai dengan Al-Quran, oleh karen itu perbedaan pendapat bukanlah sebuah permasalahan tapi perbedaan pendapat akan jadi sebuah masalah jika tidak saling menghormati satu sama lain.

Daftar Pustaka

http://bundakirana.multiply.com
http://www.kompas.com/9710/17/OPINI/dar.htm
http://xfikri.wordpress.com
Nasution, Harun.1975. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kadir, A. Muslim. Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Penerbit Mizan.
www.aufklarung.org
www.islamalternatif.com

2 comments :

  1. kapan ngebahasa tentang imamah atau khilafah kang? sebenarnya ketiadaannya lah yang telah membawa pada degradasi umat kita kang..., biar blog sampeyan ini entar bisa jadi media dakwah juga akan pentingnya persatuan umat di bawah naungan pemerintahan islam yang satu dan berdaulat...itulah pangkal msalah kita saat ini kang. tsumma takunu khilafah ala minhaj an nubuwwah (H.R. Ahmad)

    ReplyDelete

 
UA-61905524-1